Anda masih ingat sentralisasi kekuasaan di
jaman orde baru? Pada jaman itu, hampir semua kebijakan diputuskan di Jakarta.
Hal itu memicu kesenjangan dan ketidak-adilan ekonomi dimana-mana. Sementara
segelintir elit berkuasa di Jakarta, yang menjadi pusat dari segala kekuasaan,
menikmati pajak dan berbagai keuntungan ekonomi yang turut disumbangkan oleh
daerah.
Akhirnya,
sebagai antitesa terhadap praktek sentralisme orba, angin reformasi
menghembuskan semangat desentralisasi. Bahkan, di bandingkan dengan negara lain
seperti Philipina, proses desentralisasi di Indonesia berjalan sangat cepat dan
radikal. Sampai tahun 2010, jumlah daerah otonom di Indonesia mencapai 33
provinsi dan 491 kabupaten/kota. Kemudian, sejak tahun 2005 digelar pemilihan
langsung kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota).
Akan
tetapi, proses desentralisasi yang berlangsung sejak 1999 sampai sekarang itu
tidak sesuai dengan harapan kita: redistribusi kekayaan nasional untuk
terciptanya keadilan sosial-ekonomi. Yang terjadi, desentralisasi itu justru
menjadi ‘pembuka jalan’ bagi kepentingan neokolonialisme.
Tipe
desentralisasi yang sedang kita arungi adalah desentralisasi neoliberal.
Desentralisasi semacam ini, kata Hugo Chavez, hanya menjadi sarana kapital
global (MNC/TNC) untuk melemahkan kesatuan nasional dan negara bangsa.
Alih-alih bisa menciptakan keadilan ekonomi, desentralisasi ala neoliberal
justru memfasilitasi perampokan kekayaan alam oleh korporasi asing di tingkat
lokal.
Inilah
yang terjadi sekarang. Dalam UU No 4/2009 tentang Minerba disebutkan bahwa Ijin
Usaha Pertambangan diberikan oleh Bupati/Walikota jika wilayah tambang berada
di dalam satu wilayah kabupaten/kota. Dengan ketentuan itu, rezim-rezim lokal
berperan tak ubahnya “tukang obral” sumber daya alam. Sejak otoda dimulai
hingga tahun 2011 lalu, diperkirakan sedikitnya sudah ada 9000-an IUP di
seluruh Indonesia. Di Kalimantan Timur, salah satu daerah paling kaya di
Indonesia, terdapat sedikitnya 1271 ijin pertambangan.
Pada
aspek lain, desentralisasi memupuk kelahiran ‘raja-raja kecil’. Mereka
membentuk dinasti politik klientalistik, dimana segala kekuasaan dan sumber
daya terkonsentrasi di tangan mereka. Rejim-rejim lokal ini juga membendung
atau memotong partisipasi rakyat.
Desentralisasi
neoliberal tak membawa keadilan ekonomi. Lihatlah kasus yang menimpa rakyat
Kalimantan baru-baru ini. Bayangkan, Kalimantan merupakan daerah kaya dan
pemasok keuntungan ekonomi nasional, tetapi mereka mendapat jatah BBM sangat
sedikit. Ironisnya lagi, Kalimantan—yang dikenal sebagai daerah penghasil
batubara dan gas—justru mengalami krisis listrik.
Desentralisasi
neoliberal hanya memindahkan pipa akumulasi: dari akumulasi yang berpusat di
tangan orba dan kroninya kemudian berpindah ke tangan perusahaan-perusahaan
asing dari negeri-negeri imperialis.
Kita
memerlukan desentralisasi. Sebab, desentralisasi adalah cambuk untuk memukul
penyakit birokratisme. Bagi kami, desentralisasi harus membuka ruang bagi
massa rakyat di segala level dalam proses pengambilan keputusan pembangunan dan
redistribusi sumber daya. Dengan demikian, desentralisasi harus membuka pintu
bagi membesarnya partisipasi rakyat.
Transfer
sebagian kekuasaan, dari pemerintahan pusat ke pemerintahan lokal, dilakukan
dalam kerangka memudahkan pemerintah merespon segala kebutuhan rakyat di
tingkat lokal. Pada tingkat lokal, pemerintah setempat mestinya membuka ruang
partisipasi rakyat dalam berbagai proses pengambilan keputusan: penyusunan
anggaran, perencanaan pembangunan, menentukan prioritas, dan lain-lain. Ini tentu
saja sesuai dengan tradisi bangsa Indonesia: gotong-royong.
Di
sini, negara pusat mengkoordinaskan segala bentuk strategi nasional untuk
mendistribusikan kekayaan nasional secara adil dan merata kepada semua daerah.
Desentraliasi juga tidak akan melemahkan negara bangsa. Bagi kami, penguatan
partisipasi rakyat di segala level, yang mencakup semua teritorial negara
bangsa, justru akan memperkuat negara nasional. Mungkin ini sesuai dengan
prinsip kita: “bhineka tunggal ika”—berbeda-beda tetapi hakikatnya menguatkan.
Repost by : Uiputra-2012
Kajian Publik
- Pengertian, Definisi Dan Arti Kecamatan
- Kritik Terhadap Pengelolaan Anggaran Infrastruktur Pemerintah
- Konsep Teoritis Pelayanan Publik
- Isu Pokok Dalam RUU Aparatur Sipil Negara (ASR)
- Revitalisasi Lembaga Kecamatan
- Desain Tunggal Desentralisasi bukan Kebhinekaan Indonesia
- Desentralisasi dan Dekonsentrasi
- Sejarah Perubahan Administrasi Negara Ke Administrasi Publik
- Administrasi Publik
- Pelayanan Publik Sebagai Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
- Pelayanan Publik Dalam Konsep Good Governance
- Pengertian Pelayanan Publik
- PELAYANAN PUBLIK DALAM PERSFEKTIF UNDANG-UNDANG
- Azas-azas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
- Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
- Pengertian Otonomi Daerah
- Pengertian Pemerintahan Daerah menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
- Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Info Publik
- Tata Cara Pengajuan Informasi Publik
- Tidak Semua Catatan Sejarah Bisa Dibuka
- Informasi Publik Yang Dikecualikan
- Informasi Publik
- Tak Semua Informasi Badan Publik Dapat Dibuka
- Regulasi Tentang Keterbukaan Informasi Publik
- Download Peta Provinsi Di Indonesia
- Penipisan Lapisan Ozon Dan Pemanasan Bumi
- Pengelolaan Sampah Berbasis Mandiri
- Program Unggulan Mendukung Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah
- Desain Kota Tanpa TPA Sampah
- Penanganan Sampah Dengan Metode Waste to Energy
- Trend Global dalam Pengelolaan Sampah Kota
- Biopori
- Jangan Biarkan Sumber Air Kita Kering
- Selamatkan Air Kita
- Responsif Dari Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketersediaan Air Bersih
- Permasalahan Krisis Air Bersih Serta Upaya Solusi Pemecahannya
- Cara Mudah Membuat Kompos
- Drainase
- Pengelolaan Pajak P2 dan Persiapan Regulasi Pendukungnya
- Tari Cokek Kekayaan Budaya Tangerang
- Pahlawan
- Film Merah Putih (Full)
- Hari Pahlawan 10 Nopember 1945