JAKARTA (Pos Kota) – Meski sudah ada Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tetap tidak bisa membuka semua catatan sejarah yang disimpan di sana.
“Keterbukaan bukan berarti buka-bukaan semuanya. Ada hal yang masih harus tertutup, misalnya tentang keamanan negara dan isu SARA,” ucap Kepala ANRI, M. Asichin dalam saresehan wartawan bertema, “Mengenal Lebih Dekat Pelestari Memori Kolektif Bangsa,” di kantor ANRI Jl. Ampera Raya, Kemang, Jakarta Selatan, kemarin.
Turut hadir Sekretaris Utama, Gina Masudah Husni, dan Deputi Bidang Informasi dan Pengembangan Sistem Kearsipan (IPSK), Dini Saraswati. Saresehan dipandu Donna Amelia, penyiar MNC TV.
Asichin mengakui, desakan keterbukaan di berbagai bidang kian deras terutama pasca reformasi 1998. Namun jika menyangkut rahasia pertahanan negara, SARA (Suku, Agama, Ras dan Adat), strategi persenjataan serta sistem keamanan negara, pihaknya harus ‘turut’ mengamankan. Artinya, ada dokumen yang bukan untuk konsumsi publik.
Tapi dia menargetkan, arsip yang bersifat rahasia di ANRI idealnya di bawah 10 persen. “Ke depan, semua catatan yang tersimpan di ANRI idealnya bisa dilihat khalayak umum,” kata dia.
Untuk memberi batasan mana saja catatan sejarah yang bisa dilihat oleh umum dan mana yang tidak, kata Asichin, pihaknya telah melakukan nota kesepahaman atau Memori of Understanding (MoU) dengan dua institusi terkait yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), serta Komisi Informasi Pusat (KIP). MoU dilakukan di Bandung pada 3 Juli 2012.
Untuk memberi batasan mana saja catatan sejarah yang bisa dilihat oleh umum dan mana yang tidak, kata Asichin, pihaknya telah melakukan nota kesepahaman atau Memori of Understanding (MoU) dengan dua institusi terkait yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), serta Komisi Informasi Pusat (KIP). MoU dilakukan di Bandung pada 3 Juli 2012.
KIP BUTUH KOMITMEN
Asichin mengatakan, keterbukaan informasi publik (KIP) membutuhkan komitmen bersama dari kementerian, lembaga dan pemerintah daerah. Adanya Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP bukan berarti masyarakat bisa buka-bukaan dalam mengakses informasi pada badan publik.
Di Indonesia, sambungnya, masalah keterbukaan arsip sudah diatur secara umum dalam UU No 14/2008 tentang KIP, dan secara khusus telah diatur dalam UU No 43/2009 tentang Kearsipan. Di situ disebutkan, memperoleh Informasi, apalagi arsip statis, dijamin oleh Konstitusi atau UUD 1945 Pasal 28 F (Amandemen kedua 18 Agustus 2000).
Asichin menegaskan kembali, tidak semua arsip dinamis dinyatakan terbuka dan tidak semua arsip statis terbuka seluruhnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pada saresehan itu, Asichin juga menjelaskan, beberapa istilah kearsipan yang perlu diketahui masyarakat, seperti arsip dinamis, arsip statis, akses, koleksi, dan khasanah.
Pada saresehan itu, Asichin juga menjelaskan, beberapa istilah kearsipan yang perlu diketahui masyarakat, seperti arsip dinamis, arsip statis, akses, koleksi, dan khasanah.
“Istilah arsip di Indonesia berasal dari Belanda, yakni archief. Demikian juga istilah arsip dinamis (dinamisch archief) dan arsip statis (statisch archief),” kata dia.
Asichin mencontohkan, untuk arsip peninggalan Belanda, baik arsip VOC maupun Pemerintah Hindia-Belanda pada dasarnya adalah terbuka untuk umum. “Tetapi untuk peneliti asing dipersyaratkan terlebih dahulu mendapatkan ijin penelitian yang dikeluarkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi,” cetusnya.
PENGGUNA ARSIP KECEWA
Menurut Asichin, dalam beberapa kasus di ruang baca ANRI, seorang pengguna arsip merasa kecewa ketika meminta arsip ternyata tidak boleh diakses. Padahal, ANRI tidak memiliki peraturan tertulis soal larangan mengakses tersebut.
“Alasan kami sederhana, yakni ada kesepakatan antara ANRI dengan pemilik arsip agar tidak mempublikasikan arsip tersebut kepada masyarakat luas, kecuali kepada pihak-pihak yang sangat berkompeten,” paparnya.
Dijelaskannya, di negara-negara Eropa, seperti Inggris, Perancis atau Belanda, masalah akses ini baru bisa dibuka untuk umum setelah berjangka waktu 30 tahun. Ada juga yang baru 20 tahun sudah boleh dibuka untuk pengguna arsip.
Asichin mengakui, dalam beberapa hal ANRI masih menggunakan kebijakan tradisional atau tidak tertulis. Ini dilakukan karena secara hukum terkait dengan beberapa dokumen seperti, Undang-Undang Kerahasiaan Dokumen Negara, dan Undang-Undang Dokumen Pribadi.
ARSIP LENGKAP
Asichin menjelaskan, di ANRI tersimpan berbagai khasanah arsip yang menceritakan tentang PKI Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965. Arsip-arsip itu sudah berjangka waktu lebih dari 30 tahun. Tetapi hingga kini arsip-arsip tersebut masih belum dibukasediakan untuk pengguna arsip.
Begitu juga dengan arsip yang membahas masalah tanah. Untuk memfoto-kopi arsip-arsip tersebut tidak diperbolehkan, terutama tanah warisan yang sedang berkasus (rebutan warisan tanah). Pihak ANRI pun tidak bisa memberi cap resmi untuk keterangan riwayat tanah tersebut. Karena harus mendapat ijin dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
SUPERSEMAR
Dalam saresehan wartawan itu, Kepala ANRI juga menyinggung tentang keberadaan naskah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) asli yang tetap harus dicari. “Supersemar asli penting untuk kepastian sejarah dan warisan sejarah kepada generasi penerus,” cetusnya.
Asichin mengakui, naskah Supersemar yang tersimpan di ANRI tidak asli. Ada dua versi naskah Supersemar yang tersimpan di ANRI. Versi pertama hanya satu lembar dari Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Dispenad). Dan versi kedua sebanyak dua lembar dari Sekretariat Negara (Setneg). Namun keduanya palsu, termasuk tanda tangan Presiden Soekarno juga tidak otentik di kedua dokumen tersebut.
“Kalau suratnya sudah palsu, tentu tanda tangannya tidak asli. Nah, siapa yang memalsukan, kita enggak tahu,” ujar dia.
Kepala ANRI menjelaskan, pihaknya telah melakukan pencarian naskah asli Supersemar sejak tahun 2000. Sudah banyak yang ditemui, mulai dari mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), Joko Pekik dan Rewang, hingga keluarga Jenderal (Purn) M Jusuf, salah satu petinggi Angkatan Darat (AD) yang mengantarkan Supersemar dari Soekarno kepada Soeharto.
Asichin mengatakan, klaim M. Jusuf memiliki naskah asli Supersemar tidak terbukti. Buktinya, Andi Heri, keponakan M. Jusuf mengatakan keluarganya tidak menyimpan Supersemar. “Kami juga pernah mendatangi anak Jenderal (Purn) AH Nasution, namun hasilnya juga sama, nihil. Dia juga tidak tahu,” kata Asichin.
Secara pribadi, Asichin meyakini Supersemar asli itu benar-benar ada. Soekarno sendiri pernah mengatakannya pada pidato di HUT Kemerdekaan 17 Agustus 1966. “Almarhum Pak Moerdiono juga mengaku pernah melihat,” terangnya. (aby/dms)
------------------------
Sumber : Pos Kota News
Repost by Ruli-2012