Informasi Publik Yang Dikecualikan - Undang-undang no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik telah mendefinisikan Informasi Publik sebagai informasi yang dihasilkan,
disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang
berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau
penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan
UndangUndang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan
publik. Berdasarkan ketentuan tersebut, Informasi Publik pada prinsipnya adalah
segala jenis informasi yang berada dalam penguasaan Badan Publik dalam rangka
pelaksanaan tugas mereka.
Salah satu prinsip dalam keterbukaan informasi publik adalah:
seluruh informasi publik bersifat terbuka, selain yang dikecualikan. Prinsip
sebaliknya berlaku untuk informasi privat, dimana selruhnya bersifat tertutup,
selain yang diijinkan untuk dibuka oleh pemilik informasi.
Article 19, salah
satu NGO Internasional yang aktif melakukan kampanye tentang kebebasan
informasi, telah mempublikasikan standar internasional mengenai prinsip-prinsip
keterbukaan informasi[1] yang perlu diakomodasi dalam
legislasi keterbukaan informasi:
Principle-4: Limited Scope of
Exceptions. Exceptions should be clearly and narrowly drawn and subject to
strict “harm” and “public interest” tests.
Prinsip pengecualian yang
terbatas tersebut dianut juga oleh Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Undang-undang ini menganut asas
pengecualian sebagaimana dinyatakan pada bagian kesatu, pasal 2:
ayat
(2):
Informasi Publik yang
dikecualikan bersifat ketat dan terbatas;
ayat
(4):
Informasi Publik yang
dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan UndangUndang, kepatutan, dan
kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul
apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah
dipertimbang-kan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi
kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Kerahasiaan adalah
sesuatu yang diakui keberadaannya secara hukum. Dalam pemerintahan yang
demokratis, asas pengecualian sebagaimana yang terdapat pada UU KIP ini penting
untuk menekan kemungkinan penyelahgunaan kewenangan dengan mengatasnamakan
kepentingan nasional (rahasia negara).
Kerahasiaan negara pada
prinsipnya diperlukan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar,
sebagaimana dinyatakan oleh Steven Aftergood[2].
Kerahasiaan untuk tujuan tersebut disebut Steven sebagai good secret,
yakni suatu kerahasiaan negara yang bersifat murni (genuine national
security secrecy). Kerahasiaan negara harus dihindarkan dari alasan-alasan
birokrasi (bireaucracy secrecy) atau alasan-alasan politis (political
secrecy). Steven menyebut dua terakhir sebagai bad secret.
Dengan memperhatikan ketentuan yang terdapat pasal 2 ayat (4) UU
KIP, maka pengecualian informasi harus memenuhi beberapa sayarat berikut:
- Jika informasi yang dikecualikan bersifat rahasia.
- Pengecualian harus berdasarkan Undang-undang. Jika pengecualian diatur oleh Peraturan Perundang-undangan di bawahnya, maka harus dimandatkan oleh Undang-undang.
- Pengecualian berdasarkan kepatutan dan kepentingan umum. Untuk itu pengecualian harus didasarkan pada:
§
pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu
informasi diberikan kepada masyarakat (uji konsekuen-si); serta
§
setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi
Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau
sebaliknya (uji kepentingan publik).
2.1 Dasar Pengecualian Pada
UU KIP
Dalam UU KIP Badan Publik berhak untuk menolak memberikan
informasi untuk dua alasan: yakni penolakan karena alasan substansi, dan
penolakan karena alasan prosedur. Ketentuan tersebut diatur pada bagian ketiga
pasal 6 tentang hak Badan Publik:
ayat (1):
Badan
Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikansesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ayat
(2):
Badan
Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pada risalah pembahasan RUU KMIP tanggal 26 Juni 2007 (sebelum
diubah menjadi KIP), Pemerintah dan DPR menyepakati untuk memasukkan rumusan
tersebut dengan maksud ayat (1) adalah pengecualian berdasar-kan substansi,
sedangkan ayat (2) adalah pengecualian berdasarkan prosedur. Dengan
disepakatinya dua ketentuan tersebut, maka UU KIP menganut pengecualian
substansial dan pengecualian prosedural.
Badan Publik berhak untuk menolak permintaan
agar informasi publik yang bersifat terbuka diberikan berdasarkan
prosedur yang diatur oleh UU KIP apabila prosedur pemberian informasi tersebut
harus mengikuti peraturan perundang-undangan lain yang secara khusus
mengaturnya. UU Kebebasan Informasi (FOI Act) di Inggris menyebut-nya
sebagai pengecualian karena alasan informasi tersebut hanya dapat diakses
melalui cara lain (available by other means)[3].
Sebaliknya, prosedur layanan informasi sebagaimana diatur dalam
UU KIP tidak dapat serta merta dijadikan alasan oleh Badan Publik untuk menolak
pemberian informasi apabila ada peraturan perundang-undangan lain yang bersifat
lebih khusus mengatur mengenai akses informasi sepanjang tidak bertentangan
dengan asas UU KIP. Sebagai contoh:
Wawancara oleh wartawan. Sejak
diberlakukannya UU KIP, banyak wartawan mengeluh karena Badan Publik menolak
memberikan informasi ketika diwawancarai. Kebanyakan wartawan merasa kebebasan
mereka terhambat karena UU KIP mengatur prosedur permohonan informasi yang
terlalu lama bagi kepentingan profesi mereka. Sepanjang bukan informasi yang
dikecualikan, untuk profesi wartawan berlaku Undang-undang Pers yang secara
khusus yang telah mengatur hak dan kewajiban dalam memperoleh informasi. Tata
cara untuk mendapatkan informasi untuk mereka mengikuti UU tersebut. Memberikan
jawaban secara lisan dan lebih cepat dari ketentuan waktu maksimum sebagaimana
diatur oleh UU KIP bukanlah suatu yang bertentangan. Mereka harus mengikuti ketentuan yang ada.
Hak Panitia Pengawas
Pemilu untuk mengakses data di KPU. Berbagai data di KPU
yang bersifat terbuka akan sangat terlambat untuk diakses oleh Panitia Pengawas
Pemilu jika menggunakan tata cara yang diatur dalam UU KIP. Untuk menjamin
akses Panitia Pengawas (Panwas) terhadap data tersebut, tata cara yang diatur
dalam UU KIP tidak boleh diberlakukan sebagai dasar penolakan karena akan
menghambat efektivitas tugas dan fungsi pengawasan. Pelayanan informasi oleh
KPU harus mengikuti ketentuan yang mengatur hal tersebut, dan tidak harus
mengikuti batasan waktu maksimum sebagaimana diatur oleh UU KIP.
Untuk pengecualian
berdasarkan substansi, pasal 6 UU KIP memperjelas tiga domain
utama kerahasiaan, yakni: kerahasiaan negara, kerahasiaan bisnis dan
kerahasiaan pribadi. Namun demikian bagian ini juga memasukkan
beberapa hal yang sesungguhnya tidak terlalu relevan untuk masuk dalam kategori
substansi, yakni sumpah jabatan dan ketersediaan dokumen:
ayat
(3):
Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. informasi
yang dapat membahayakan negara;
b. informasi
yang berkaitan dengan kepentingan perlin-dungan usaha dari persaingan usaha
tidak sehat;
c. informasi
yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;
d. informasi yang
berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau
e. Informasi Publik yang
diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.
Rahasia jabatan sebetulnya merupakan kerahasiaan yang menyangkut
substansi yang diatur oleh Undang-undang. Dalam bagian penjelasan UU KIP,
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “rahasia jabatan” adalah rahasia yang
menyangkut tugas dalam suatu jabatan Badan Publik atau tugas negara lainnya
yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya akan
redundan dengan kerahasiaan lain yang diatur oleh Undang-undang. Sedangkan
ketersediaan atau penguasaan dokumen lebih terkait dengan aspek prosedural
daripada substansi.
Pengaturan lebih jauh
mengenai pengecualian substansial atas konsekuensi yang ditimbulkan untuk
ketiga domain utama kerahasiaan tersebut diatur pada pasal 17
UU KIP. Pasal ini mengatur tentang prinsip penerapan salah satu asas
pengecualian sebagaimana diatur pada pasal 2 UUKIP, dimana pengecualian
bersifat ketat dan terbatas. Untuk itu harus didasarkan atas pengujian
konsekuensi yang ditimbulkan jika informasi dibuka.
Jika dicermati satu per satu, terlihat ada ketentuan yang tidak
secara eksplisit menguraikan pengecualian berdasarkan konsekuensi. Salah satu
ketentuan tersebut adalah pasal 17 huruf i, yang mengatur pengecualian untuk
memorandum atau surat Badan Publik.
Pasal
17 huruf i:
Memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan
Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi
Informasi atau pengadilan;
Penjelasan:
“Memorandum yang dirahasiakan” adalah memorandum atau suratsurat
antarBadan Publik atau intraBadan Publik yang menurut sifatnya tidak
disediakan untuk pihak selain Badan Publik yang sedang melakukan hubungan
dengan Badan Publik dimaksud dan apabila dibuka dapat secara serius merugikan
proses penyusunan kebijakan, yakni dapat:
- mengurangi kebebasan, keberanian, dan kejujuran dalam pengajuan usul, komunikasi,atau pertukaran gagasan sehubungan dengan proses pengambilan keputusan;
- menghambat kesuksesan kebijakan karena adanya pengungkapan secara prematur;
- mengganggu keberhasilan dalam suatu proses negosiasi yang akan atau sedang dilakukan.
Ada kelemahan dalam penulisan ketentuan pada pasal 17 huruf i,
dimana konsekuensi diterangkan pada bagian penjelasan yang sebetulnya bukan
merupakan bagian dari norma. Namun demikian karena ketentuan tersebut
dimasukkan dalam kelompok pasal 17, maka pengecualian tersebut tetap harus
dilakukan dengan mempertimbangkan konsekuensi sebagaimana diterangkan dalam
bagian penjelasan.
Kelemahan dalam penulisan juga terjadi pada pasal 17 huruf j
yang mengatur pengecualian atas Undang-undang:
Pasal
17 huruf j:
informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan UndangUndang.
Keinginan untuk mengakomodasi pengecualian substansial
berdasar-kan Peraturan Perundang-undangan lain pada dasarnya telah ditetapkan
pada pasal 6 ayat (1). Dengan dimasukkannya ketentuan informasi yang tidak
boleh diungkap berdasarkan Undang-undang pada kelompok pasal 17 (secara khusus
mengatur pengecualian berdasarkan konsekuensi), maka pengecualian tersebut
harus tetap disertai penjelasan mengenai konsekuensi yang ditimbulkan apabila
informasi dibuka dan diberikan kepada Pemohon.
2.2 Pengecualian
Berdasarkan Undang-undang Lain
Dalam pembahasan RUU
antara Pemerintah dan DPR, terjadi beberapa kali perdebatan atas keinginan DPR
menjadikan UU KIP sebagai Undang-undang payung (umbrella act). Hal
tersebut diperkuat dengan keinginan DPR untuk menetapkan bahwa pengecualian
hanya berdasarkan UU KIP. Namun demikian keinginan untuk menyusun suatu
Undang-undang payung tak dimungkinkan di Indonesia. UU No. 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tak mengenal jenis
Undang-undang tersebut.
Dalam pembahasan bersama
DPR pihak Pemerintah berpendapat bahwa menetapkan klausul pengecualian hanya
berdasarkan UU KIP akan berimplikasi luas terhadap harmonisasi dengan Peraturan
Perundang-undangan lain. Ketentuan tersebut akan menyampingkan keberadaan
Peraturan Perundang-undangan lain yang mungkin telah mengatur secara khusus
pengecualian atau kerahasiaan. Pemerintah mengusulkan agar tetap mengakomodasi
pengecualian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan lain dan sinkronisasi
dilakukan dengan menggunakan kaidah umum yang berlaku (general principle of
law). Usul ini diterima oleh DPR:
Pemerintah:
“… kemungkinan untuk inharmonize, satu tidak harmonis dengan
yang lain, atau tidak sinkron satu sama lain itu sangat mungkin dalam
perundang-undangan. Oleh karena itu, jika ada perbedaan semacam ini maka kita
harus menggunakan asas-asas perundang-undangan.”
“Oleh karena itu kita
selalu mengatakan di sini yang berlaku tidak boleh hanya menyebut Undang-undang
ini, tapi peraturan Perundang-undangan yang berlaku, karena khawatir ada yang
jauh lebih spesifik…”[4]
Dalam praktik, tidak
terlalu mudah untuk menerapkan harmonisasi berdasarkan asas perundang-undangan
tersebut, mengingat para ahli hukum biasanya akan memiliki cara pandang
masing-masing untuk menentukan mana yang lebih khusus antara satu Undang-undang
terhadap yang lainnya. Untuk mengurangi kemungkinan tersebut, harmonisasi juga
harus mengacu pada salah satu sumber hukum yang berlaku, yakni UU No.
10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU
PPP):
Pasal
44 ayat (2) :
Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran
yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Lampiran
C.1 angka 74, huruf c:
hal-hal lain yang
bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan
yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
Berdasarkan ketentuan di
atas, keputusan untuk memasukkan pengecualian berdasarkan Undang-undang lain
pada pasal-pasal berikutnya setelah pasal 2 yang mengatur tentang asas dalam UU
KIP, akan berimplikasi pada berlakunya asas pengecualian yang ada pada pasal 2
UU KIP (uji konsekuensi dan uji kepentingan publik) terhadap
pengecualian yang diatur oleh Undang-undang yang lebih khusus, sepanjang
Undang-undang tersebut tidak menganut asas pengecualian tersendiri. Hal ini
diperkuat oleh Ketentuan Penutup UU KIP:
Pasal
63:
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perolehan informasi yang telah ada
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang
ini.
end -------------------------
[1] Article 19, Principles on Freedom of
Information Legislation, International Standard Series, 1999
[2] Steven Aftergood, dalam Koalisi
Kebebasan untuk Informasi, 2003: 43
[3] UK Freedom Of information Act 2000,
part II, sec. 21.
(1) Information which is reasonably accessible to
the applicant otherwise than under section 1 is exempt information.
(2) For the purposes of subsection (1)-
(a) information may be reasonably accessible to the
applicant even though it is accessible only on payment, and
(b) information is to be taken to be reasonably accessible
to the applicant if it is information which the public authority or any other
person is obliged by or under any enactment to communicate (otherwise than by
making the information available for inspection) to members of the public on
request, whether free of charge or on payment.
(3) For the purposes of subsection (1), information
which is held by a public authority and does not fall within subsection (2)(b)
is not to be regarded as reasonably accessible to the applicant merely because
the information is available from the public authority itself on request,
unless the information is made available in accordance with the authority’s
publication scheme and any payment required is specified in, or determined in
accordance with, the scheme.
[4] Risalah Rapat Kerja Pembahasan RUU
KMIP antara Pemerintah dan Panja DPR RI, pada tanggal 26 Juni 2007, kutipan
pernyataan Prof. Ahmad Ramli sebagai wakil Pemerintah.
------------------------
Sumber : (UU KIP)
Repost by Ruli-2012