ads

Jumat, 14 Desember 2012

Informasi Publik Yang Dikecualikan


Informasi Publik Yang Dikecualikan
Informasi Publik Yang Dikecualikan - Undang-undang no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah mendefinisikan Informasi Publik sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang­Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Berdasarkan ketentuan tersebut, Informasi Publik pada prinsipnya adalah segala jenis informasi yang berada dalam penguasaan Badan Publik dalam rangka pelaksanaan tugas mereka. 

Salah satu prinsip dalam keterbukaan informasi publik adalah: seluruh informasi publik bersifat terbuka, selain yang dikecualikan. Prinsip sebaliknya berlaku untuk informasi privat, dimana selruhnya bersifat tertutup, selain yang diijinkan untuk dibuka oleh pemilik informasi.
Article 19, salah satu NGO Internasional yang aktif melakukan kampanye tentang kebebasan informasi, telah mempublikasikan standar internasional mengenai prinsip-prinsip keterbukaan informasi[1] yang perlu diakomodasi dalam legislasi keterbukaan informasi: 
Principle-4: Limited Scope of Exceptions. Exceptions should be clearly and narrowly drawn and subject to strict “harm” and “public interest” tests.

Prinsip pengecualian yang terbatas tersebut dianut juga oleh Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Undang-undang ini menganut asas pengecualian sebagaimana dinyatakan pada bagian kesatu, pasal 2:

ayat (2):
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas;
ayat (4):
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang­Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbang-kan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Kerahasiaan adalah sesuatu yang diakui keberadaannya secara hukum. Dalam pemerintahan yang demokratis, asas pengecualian sebagaimana yang terdapat pada UU KIP ini penting untuk menekan kemungkinan penyelahgunaan kewenangan dengan mengatasnamakan kepentingan nasional (rahasia negara).

Kerahasiaan negara pada prinsipnya diperlukan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar, sebagaimana dinyatakan oleh Steven Aftergood[2]. Kerahasiaan untuk tujuan tersebut disebut Steven sebagai good secret, yakni suatu kerahasiaan negara yang bersifat murni (genuine national security secrecy). Kerahasiaan negara harus dihindarkan dari alasan-alasan birokrasi (bireaucracy secrecy) atau alasan-alasan politis (political secrecy). Steven menyebut dua terakhir sebagai bad secret.

Dengan memperhatikan ketentuan yang terdapat pasal 2 ayat (4) UU KIP, maka pengecualian informasi harus memenuhi beberapa sayarat berikut:
  1. Jika informasi yang dikecualikan bersifat rahasia.
  2. Pengecualian harus berdasarkan Undang-undang. Jika pengecualian diatur oleh Peraturan Perundang-undangan di bawahnya, maka harus dimandatkan oleh Undang-undang.
  3. Pengecualian berdasarkan kepatutan dan kepentingan umum. Untuk itu pengecualian harus didasarkan pada: 
§  pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat (uji konsekuen-si); serta
§  setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya (uji kepentingan publik).

2.1 Dasar Pengecualian Pada UU KIP
Dalam UU KIP Badan Publik berhak untuk menolak memberikan informasi untuk dua alasan: yakni penolakan karena alasan substansi, dan penolakan karena alasan prosedur. Ketentuan tersebut diatur pada bagian ketiga pasal 6 tentang hak Badan Publik:
ayat (1):
Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikansesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
ayat (2):
Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan.

 Pada risalah pembahasan RUU KMIP tanggal 26 Juni 2007 (sebelum diubah menjadi KIP), Pemerintah dan DPR menyepakati untuk memasukkan rumusan tersebut dengan maksud ayat (1) adalah pengecualian berdasar-kan substansi, sedangkan ayat (2) adalah pengecualian berdasarkan prosedur. Dengan disepakatinya dua ketentuan tersebut, maka UU KIP menganut pengecualian substansial dan pengecualian prosedural.
Badan Publik berhak untuk menolak permintaan agar informasi publik yang bersifat terbuka diberikan  berdasarkan prosedur yang diatur oleh UU KIP apabila prosedur pemberian informasi tersebut harus mengikuti peraturan perundang-undangan lain yang secara khusus mengaturnya. UU Kebebasan Informasi (FOI Act) di Inggris menyebut-nya sebagai pengecualian karena alasan informasi tersebut hanya dapat diakses melalui cara lain (available by other means)[3].

Sebaliknya, prosedur layanan informasi sebagaimana diatur dalam UU KIP tidak dapat serta merta dijadikan alasan oleh Badan Publik untuk menolak pemberian informasi apabila ada peraturan perundang-undangan lain yang bersifat lebih khusus mengatur mengenai akses informasi sepanjang tidak bertentangan dengan asas UU KIP. Sebagai contoh:
Wawancara oleh wartawan. Sejak diberlakukannya UU KIP, banyak wartawan mengeluh karena Badan Publik menolak memberikan informasi ketika diwawancarai. Kebanyakan wartawan merasa kebebasan mereka terhambat karena UU KIP mengatur prosedur permohonan informasi yang terlalu lama bagi kepentingan profesi mereka. Sepanjang bukan informasi yang dikecualikan, untuk profesi wartawan berlaku Undang-undang Pers yang secara khusus yang telah mengatur hak dan kewajiban dalam memperoleh informasi. Tata cara untuk mendapatkan informasi untuk mereka mengikuti UU tersebut. Memberikan jawaban secara lisan dan lebih cepat dari ketentuan waktu maksimum sebagaimana diatur oleh UU KIP bukanlah suatu yang bertentangan. Mereka harus mengikuti ketentuan yang ada.

Hak Panitia Pengawas Pemilu untuk mengakses data di KPU. Berbagai data di KPU yang bersifat terbuka akan sangat terlambat untuk diakses oleh Panitia Pengawas Pemilu jika menggunakan tata cara yang diatur dalam UU KIP. Untuk menjamin akses Panitia Pengawas (Panwas) terhadap data tersebut, tata cara yang diatur dalam UU KIP tidak boleh diberlakukan sebagai dasar penolakan karena akan menghambat efektivitas tugas dan fungsi pengawasan. Pelayanan informasi oleh KPU harus mengikuti ketentuan yang mengatur hal tersebut, dan tidak harus mengikuti batasan waktu maksimum sebagaimana diatur oleh UU KIP.

Untuk pengecualian berdasarkan substansi, pasal 6 UU KIP memperjelas tiga domain utama kerahasiaan, yakni: kerahasiaan negara, kerahasiaan bisnis dan kerahasiaan pribadi.  Namun demikian bagian ini juga memasukkan beberapa hal yang sesungguhnya tidak terlalu relevan untuk masuk dalam kategori substansi, yakni sumpah jabatan dan ketersediaan dokumen:  
ayat (3):
Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. informasi yang dapat membahayakan negara;
b. informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlin-dungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat;
c. informasi yang berkaitan dengan hak­-hak pribadi;
d. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau
e. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

Rahasia jabatan sebetulnya merupakan kerahasiaan yang menyangkut substansi yang diatur oleh Undang-undang. Dalam bagian penjelasan UU KIP, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “rahasia jabatan” adalah rahasia yang menyangkut tugas dalam suatu jabatan Badan Publik atau tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya akan redundan dengan kerahasiaan lain yang diatur oleh Undang-undang. Sedangkan ketersediaan atau penguasaan dokumen lebih terkait dengan aspek prosedural daripada substansi.
Pengaturan lebih jauh mengenai pengecualian substansial atas konsekuensi yang ditimbulkan untuk ketiga domain utama kerahasiaan tersebut diatur pada pasal 17 UU KIP. Pasal ini mengatur tentang prinsip penerapan salah satu asas pengecualian sebagaimana diatur pada pasal 2 UUKIP, dimana pengecualian bersifat ketat dan terbatas. Untuk itu harus didasarkan atas pengujian konsekuensi yang ditimbulkan jika informasi dibuka.

Jika dicermati satu per satu, terlihat ada ketentuan yang tidak secara eksplisit menguraikan pengecualian berdasarkan konsekuensi. Salah satu ketentuan tersebut adalah pasal 17 huruf i, yang mengatur pengecualian untuk memorandum atau surat Badan Publik.
Pasal 17 huruf i:
Memorandum atau surat­-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan;
Penjelasan:
“Memorandum yang dirahasiakan” adalah memorandum atau surat­surat antar­Badan Publik atau intra­Badan Publik yang menurut sifatnya tidak disediakan untuk pihak selain Badan Publik yang sedang melakukan hubungan dengan Badan Publik dimaksud dan apabila dibuka dapat secara serius merugikan proses penyusunan kebijakan, yakni dapat:
  1. mengurangi kebebasan, keberanian, dan kejujuran dalam pengajuan usul, komunikasi,atau pertukaran gagasan sehubungan dengan proses pengambilan keputusan;
  2. menghambat kesuksesan kebijakan karena adanya pengungkapan secara prematur;
  3. mengganggu keberhasilan dalam suatu proses negosiasi yang akan atau sedang dilakukan. 
Ada kelemahan dalam penulisan ketentuan pada pasal 17 huruf i, dimana konsekuensi diterangkan pada bagian penjelasan yang sebetulnya bukan merupakan bagian dari norma. Namun demikian karena ketentuan tersebut dimasukkan dalam kelompok pasal 17, maka pengecualian tersebut tetap harus dilakukan dengan mempertimbangkan konsekuensi sebagaimana diterangkan dalam bagian penjelasan.
Kelemahan dalam penulisan juga terjadi pada pasal 17 huruf j yang mengatur pengecualian atas Undang-undang:
Pasal 17 huruf j:
informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang­Undang.
Keinginan untuk mengakomodasi pengecualian substansial berdasar-kan Peraturan Perundang-undangan lain pada dasarnya telah ditetapkan pada pasal 6 ayat (1). Dengan dimasukkannya ketentuan informasi yang tidak boleh diungkap berdasarkan Undang-undang pada kelompok pasal 17 (secara khusus mengatur pengecualian berdasarkan konsekuensi), maka pengecualian tersebut harus tetap disertai penjelasan mengenai konsekuensi yang ditimbulkan apabila informasi dibuka dan diberikan kepada Pemohon.
2.2 Pengecualian Berdasarkan Undang-undang Lain
Dalam pembahasan RUU antara Pemerintah dan DPR, terjadi beberapa kali perdebatan atas keinginan DPR menjadikan UU KIP sebagai Undang-undang payung (umbrella act). Hal tersebut diperkuat dengan keinginan DPR untuk menetapkan bahwa pengecualian hanya berdasarkan UU KIP. Namun demikian keinginan untuk menyusun suatu Undang-undang payung tak dimungkinkan di Indonesia. UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tak mengenal jenis Undang-undang tersebut.

Dalam pembahasan bersama DPR pihak Pemerintah berpendapat bahwa menetapkan klausul pengecualian hanya berdasarkan UU KIP akan berimplikasi luas terhadap harmonisasi dengan Peraturan Perundang-undangan lain. Ketentuan tersebut akan menyampingkan keberadaan Peraturan Perundang-undangan lain yang mungkin telah mengatur secara khusus pengecualian atau kerahasiaan. Pemerintah mengusulkan agar tetap mengakomodasi pengecualian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan lain dan sinkronisasi dilakukan dengan menggunakan kaidah umum yang berlaku (general principle of law). Usul ini diterima oleh DPR:

Pemerintah:
“… kemungkinan untuk inharmonize, satu tidak harmonis dengan yang lain, atau tidak sinkron satu sama lain itu sangat mungkin dalam perundang-undangan. Oleh karena itu, jika ada perbedaan semacam ini maka kita harus menggunakan asas-asas perundang-undangan.”
“Oleh karena itu kita selalu mengatakan di sini yang berlaku tidak boleh hanya menyebut Undang-undang ini, tapi peraturan Perundang-undangan yang berlaku, karena khawatir ada yang jauh lebih spesifik…”[4]

Dalam praktik, tidak terlalu mudah untuk menerapkan harmonisasi berdasarkan asas perundang-undangan tersebut, mengingat para ahli hukum biasanya akan memiliki cara pandang masing-masing untuk menentukan mana yang lebih khusus antara satu Undang-undang terhadap yang lainnya. Untuk mengurangi kemungkinan tersebut, harmonisasi juga harus mengacu pada salah satu sumber hukum yang berlaku, yakni UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP):

Pasal 44 ayat (2) :
Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 
Lampiran C.1 angka 74, huruf c:
hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asasmaksud, dan tujuan.

Berdasarkan ketentuan di atas, keputusan untuk memasukkan pengecualian berdasarkan Undang-undang lain pada pasal-pasal berikutnya setelah pasal 2 yang mengatur tentang asas dalam UU KIP, akan berimplikasi pada berlakunya asas pengecualian yang ada pada pasal 2 UU KIP (uji konsekuensi dan uji kepentingan publik) terhadap pengecualian yang diatur oleh Undang-undang yang lebih khusus, sepanjang Undang-undang tersebut tidak menganut asas pengecualian tersendiri. Hal ini diperkuat oleh Ketentuan Penutup UU KIP:

Pasal 63:
Pada saat berlakunya Undang-­Undang ini semua peraturan perundang­-undangan yang berkaitan dengan perolehan informasi yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang­-Undang ini.  
end -------------------------
[1] Article 19, Principles on Freedom of Information Legislation, International Standard Series, 1999
[2] Steven Aftergood, dalam Koalisi Kebebasan untuk Informasi, 2003: 43
[3] UK Freedom Of information Act 2000, part II, sec. 21.
(1)   Information which is reasonably accessible to the applicant otherwise than under section 1 is exempt information.
(2)   For the purposes of subsection (1)-
(a)  information may be reasonably accessible to the applicant even though it is accessible only on payment, and
(b)  information is to be taken to be reasonably accessible to the applicant if it is information which the public authority or any other person is obliged by or under any enactment to communicate (otherwise than by making the information available for inspection) to members of the public on request, whether free of charge or on payment.
(3)   For the purposes of subsection (1), information which is held by a public authority and does not fall within subsection (2)(b) is not to be regarded as reasonably accessible to the applicant merely because the information is available from the public authority itself on request, unless the information is made available in accordance with the authority’s publication scheme and any payment required is specified in, or determined in accordance with, the scheme.
[4] Risalah Rapat Kerja Pembahasan RUU KMIP antara Pemerintah dan Panja DPR RI, pada tanggal 26 Juni 2007, kutipan pernyataan Prof. Ahmad Ramli sebagai wakil Pemerintah.
------------------------
Sumber : (UU KIP)
Repost by Ruli-2012