ads

Senin, 19 November 2012

Trend Global dalam Pengelolaan Sampah Kota

Oleh: Prof. Enri Damanhuri

Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB

Potret Persampahan di Daerah Urban di Indonesia

Penanganan sampah khususnya di kota-kota besar di Indonesia merupakan salah satu permasalahan perkotaan yang sampai saat ini merupakan tantangan bagi pengelola kota. Pertambahan penduduk dan peningkatan aktivitas yang demikian pesat di kota-kota besar, telah mengakibatkan meningkatnya jumlah sampah disertai permasalahannya. Diprakirakan rata-rata hanya sekitar 40% – 50% yang dapat terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) oleh institusi yang bertanggung jawab atas masalah sampah dan kebersihan, seperti Dinas Kebersihan.

Kemampuan pengelola kota menangani sampahnya dalam 10 tahun terakhir cenderung menurun, antara lain karena era otonomi dan kemampuan pembiayaan yang rendah. Berdasarkan Laporan Kementerian Lingkungan Hidup (2004), pada tahun 2001 diperkirakan pengelola sampah kota hanya mampu melayani sekitar 32% penduduk kota, dari 384 kota di Indonesia. Hanya sekitar 40% dari sampah yang dihasilkan oleh daerah urban yang dapat diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPS). Sisanya ditangani oleh penghasil sampah dengan berbagai cara, seperti dibakar (35%), ditimbun dalam tanah (7,5%), dikomposkan (1,61%), dan beragam upaya, termasuk daur-ulang, atau dibuang di mana saja seperti di tanah kosong, drainase atau badan air lainnya. Contoh gambaran yang lebih detail adalah pelayanan sampah daerah urban di Bandung Raya tahun 2003 (Gambar 1) sebelum terjadi krisis sampah akibat longsornya TPA Leuwigajah, dimana yang dapat terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tidak mencapai 50% dari total sampah, yaitu :
  • Kota Bandung: 60%
  • Kota Cimahi: 37%
  • Kabupaten Bandung: 23%
  • Kabupaten Sumedang: 96%
  • Kabupaten Garut: 67%
Saat ini kapasitas angkut kota Bandung dan Kota Cimahi belum mencapai angka tersebut di atas karena keterbatasan sarana dan prasasarana, serta lokasi TPA-nya lebih jauh.


Sumber: Tim Satgas ITB – ITB Peduli TPA Leuwigajah dan sampah Bandung Raya, LPPM ITB, April 2005

Pengelolaan sampah di Indonesia, khususnya di sebuah kota, mengenal 3 (tiga) kelompok pengelolaan, yaitu :
  • Pengelolaan oleh Swadaya Masyarakat
  • Pengelolaan Formal
  • Sistem Pengelolaan Informal
Di samping sebagai bagian dari infrastruktur sebuah kota, pada dasarnya pengelolaan sampah merupakan salah satu dari sekian banyak upaya dalam pengelolaan lingkungan. Pengelolaan sampah dari sebuah kota adalah sebuah sistem yang kompleks, dan tidak dapat disejajarkan atau disimplifikasikan begitu saja, misalnya dengan penanganan sampah daerah rural. Keberhasilan upaya-upaya sektor informal saat ini tidak dapat begitu saja diaplikasikan dalam menggantikan sistem formal yang selama ini ada. Dibutuhkan waktu yang lama karena menyangkut juga perubahan perilaku masyarakat serta kemauan semua fihak untuk menerapkannya.

Berdasarkan arus pergerakan sampah sejak dari sumber hingga menuju ke pemrosesan atau pembuangan akhir, penanganan sampah di suatu kota di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kelompok utama tingkat pengelolaan, yaitu :
  • Penanganan sampah tingkat sumber
  • Penanganan sampah tingkat kawasan, dan
  • Penanganan sampah tingkat kota.
Seiring dengan pertambahan penduduk, tambah lama akan tambah banyak jumlah sampah yang harus ditangani. Defisit anggaran dalam penanganan sampah kota merupakan hal yang biasa terdengar, sehing ga agak sulit bagi pengelola sampah untuk berfikir ke depan dalam upaya pengembangan. Prasarana yang tersedia tambah lama akan tambah tua dan tambah terbatas kemampuannya. Disamping itu, sebagian besar PEMDA sampai saat ini menganggap bahwa penanganan sampah belum menjadi prioritas yang penting, apalagi dengan kondisi ekonomi yang sulit. Dengan demikian beban pengelola sampah kota menjadi tambah berat, kecuali bila cara pandang dalam pengelolaan sampah diperbaiki. Perbaikan ini tidak dapat dilakukan dalam waktu sekejap, karena menyangkut pula cara pandang masyarakat penghasil sampah, dan yang juga penting adalah cara pandang pengambil keputusan baik eksekutif maupun legislatif.

Sampai saat ini andalan utama sebuah kota dalam menyelesaikan masalah sampahnya adalah pemusnahan dengan landfilling pada sebuah TPA. Biasanya pengelola kota cenderung kurang memberikan perhatian yang serius pada TPA tersebut, sehingga muncullah kasus-kasus penolakan masyarakat terhadap keberadaan TPA , bahkan terhadap alternatif final disposal lain. Memang dapat dipastikan bahwa yang digunakan di Indonesia adalah bukan landfilling yang baik, karena hampir seluruh TPA di kota-kota di Indonesia hanya menerapkan apa yang dikenal sebagai open-dumping, yang sebetulnya tidak layak disebut sebagai sebuah bentuk teknologi penanganan sampah.

Masyarakat 3R sebagai Basis Pengelolaan Sampah

Dalam setiap pertemuan yang membicarakan bagaimana pengelolaan sampah yang baik di manapun saat ini ,dapa t dipastikan bahwa semuanya sepakat bahwa reduksi dan daur-ulang (Reduce, reuse dan recycling atau 3R) merupakan kunci jawaban atas pemecahan masalah sampah perkotaan. Tapi di Indonesia sampai saat ini konsep tersebut masih belum terlihat realisasinya secara nyata, khususnya di tingkat kota. Konsep ini bersasaran bukan hanya mengelola sampah yang sudah terbentuk, tetapi sebetulnya yang paling penting adalah upaya agar sampah yang akan terbentuk menjadi berkurang (Reduce), dengan berbagai pendekatan, yang dimulai dari perubahan cara pandang produsen yang menghasilkan produk konsumsi dan cara pandang konsuman yang menghasilkan sampah dari dari produk yang dikonsumsi tersebut. 

Langkah berikutnya adalah mengurangi sampah yang terlanjur terbentuk agar tidak secara massif diangkut ke sarana pengurugan sampah, yang di Indonesia dikenal sebagai TPA. Pendekatan Reuse dan Recycling adalah hal yang paling umum dianjurkan di Indonesia. Konsep reuse‑recycling bukan hanya terkait dengan aktivitas daur-ulang oleh sektor informal yang selama ini perannya paling menonjol di Indonesia, tetapi juga terkait dengan seluruh stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan sampah. Disamping itu, bukan berarti bahwa bila 3R ini sudah berhasil diterapkan maka tidak dibutuhkan lagi TPA, atau cara-cara pengolahan lain. Bila berbicara sampah skala kota, maka akan tetap dibutuhkan sarana pengumpul dan pengangkut sampah sebagai salah satu kelengkapan infrastruktur yang harus tersedia di sebuah kota.

Sampai saat ini belum satupun kota di Indonesia yang mempunyai pengalaman dalam menerapkan pengelolaan sampah dengan konsep 3R, khususnya reuse-recycling. Berdasarkan pengalaman di negara lain, target optimis untuk mencapai partisipasi dari seluruh penghasil sampah di sebuah kota dalam jangka waktu 10 tahun tidak akan lebih dari 50%. Banyak pengelola kota di Indonesia yang pernah mencoba konsep reuse-recycling ini mempertanyakan keberhasilan reduksi sampah dengan pengomposan atau daur-ulang, karena sampah yang harus diangkut ke TPA oleh truk-truk yang tersedia dirasakan tidak mengalami penurunan. Sementara itu kompos yang dihasilkannya sulit dipasarkan, dan dianggap hanya membebani dana Pemda dalam pengelolaan sampah, yang memang sampai saat ini sangat minim dan selalu berada pada prioritas yang rendah dalam skala anggaran sebuah kota. 

Namun sebetulnya, sekecil apapun peran reduksi sampah, itu berarti telah menambah kemampuan Pemda dalam menangani sampah. Dalam pengelolan sampah skala kota, dengan kemampuan membayar retribusi yang masih rendah serta belum terbentuknya sistem pengelolaan sampah yang tertata secara baik, maka pengomposan tidak dapat ditekankan sebagai sebuah sektor yang dapat menambah pendapatan Pemda. Paling tidak dengan upaya tersebut, volume sampah akan berkurang, yang berarti Pengelola Kota telah menghemat biayapengangkutan sebagian sampahnya yang seharusnya diangkut ke TPA. Disamping itu, dengan adanya pengalaman dalam menerapkan sistem iniserta disertai adanya kebijakan dan strategi yang jelas dalam pengelolaan sampah ke depan, maka secara bertahap diharapkan banyaknya sampah yang harus diangkut ke TPA akan berkurang, sehingga TPA bukan lagi menjadi andalan satu-satunya.

Pengelolaan Terpadu dan Sentralisasi Disposal

Pengelolaan sampah di perkotaan bertambah lama bertambah kompleks sejalan dengan kekomplekan masyarakat itu sendiri, yang membutuhkan keterlibatan beragam teknologi dan beragam disiplin ilmu. Termasuk di dalamnya teknologi yang terkait dengan bagaimana mengontrol timbulan (generation), pengumpulan (collection), pemindahan (transfer), pengangkutan (transportation), pemerosesan (processing), pembuangan akhir (final disposal) sampah yang dihasilkan pada masyarakat tersebut. Pendekatannya tidak lagi sesederhana menghadapi masyarakat di perdesaan. Seluruh proses tersebut perlu diselesaikan dalam rangka bagaimana melindungi kesehatan masyarakat, pelestarian lingkungan hidup, namun secara estetika dan juga secara ekonomi dapat diterima. Beragam pertimbangan perlu dimasukkan, seperti aspek adminsitratif, finansial, legal, arsitektural, planning, kerekayasaan.

Pengelolaan sampah terintegrasi atau terpadu dapat didefinisikan sebagai pemilihan dan penerapan teknik-teknik, teknologi, dan program-program manajemen yang sesuai, untuk mencapai sasaran dan tujuan yang spesifik dari pengelolaan sampah. Penanganan sampah yang terintegrasi bertujuan untuk meminimalkan atau mengurangi sampah yang terangkut menuju pemerosesan akhir. Pengelolaan sampah yang hanya mengandalkan proses kumpul-angkut-buang menyisakan banyak permasalahan dan kendala, antara lain ketersediaan lahan untuk pembuangan akhirnya.

Dengan terbatasnya lahan untuk pemerosesan, serta makin banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh sebuah kota, maka idea pengelolaan sampah bersama dari daerah yang saling berdekatan makin banyak mendapat perhatian di Indonesia. Konsep pertama yang muncul adalah berasal dari Denpasar dan sekitarnya, yaitu pengelolaan sampah bersama antara Kota DenpaSAR, Kabupaten BAdung, Kabupaten GIanyar dan Kabupaten TAbanan atau SARBAGITA. Pemerintah Kota/kabupaten yang terletak di Bandung Raya juga telah mengembangkan konsep sejenis sejak tahun 2004. 

Rencana tersebut mencakup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut, sebetulnya sudah disiapkan oleh Pem-Prov Jawa Barat jauh sebelum TPA Leuwigajah longsor, melalui Greater Bandung Waste Management Corporate (GBWMC). Idenya adalah, agar setiap Kota/Kabupaten tidak perlu mempunyai TPA sendiri-sendiri. Konsep tersebut ternyata tidak semulus seperti yang diperkirakan, karena tentu saja setiap Kota/Kabupaten mempunyai tingkat permasalahan dan kepentingan yang berbeda. Kota Bandung dan Cimahi yang tidak mempunyai lahan untuk lokasi TPA sangat berkepentingan dengan rencana ini. 

Sebuah calon investor Malaysia yang serius masuk dalam rencana ini, dan pada akhir tahun 2005 telah menyelesaikan studi kelayakan finansialnya, dengan konsep sanitary landfill. Sebuah calon lokasi TPA yang cukup luas di Kabupaten Bandung telah dievaluasi. Tetapi entah karena memang nasib Bandung dan Cimahi kurang beruntung, dengan keluarnya Per-Pres 67/2005 pada November 2005, maka apa yang dilakukan oleh calon investor Malaysia tersebut harus dimulai dari awal lagi, dengan prosedur sebagaimana layaknya pengadaan sarana infrastruktur yang lain, yaitu melalui tender. Menurut informasi dari BPLHD, perhitungan biaya untuk penanganan sanitary landfill yang diajukan oleh calon investor Malaysia tersebut adalah Rp.66.150/ton (sekitar Rp. 16.500/m3) bila lahan disediakan investor, dan sebesar Rp.60.000/ton (sekitar Rp.15.000/m3) bila lahan disediakan oleh Pemerintah. Minimum sampah yang harus dibawa ke sarana tersebut menurut perhitungan kelayakan finansial adalah sebesar 6500 m3/hari. Rencana semula, pada bulan Mei 2006 fasilitas tersebut secara bertahap akan dibuka dengan membangun sel-sel pengurugan sampah untuk kebutuhan mendesak.

Biaya tipping fee tersebut di atas belum termasuk biaya untuk mengangkut sampah dari TPS-TPS ke TPA. Selama ini, biaya pengangkutan sampah bisa mencapai 60% bahkan lebih, dari total biaya keseluruhan pengelolaan sampah, itupun dengan TPA yang hanya open dumping. Dapat dibayangkan bila rencana biaya tersebut langsung diterapkan pada penghasil sampah, apalagi pada penghasil sampah di luar kota Bandung. Biaya retribusi sampah per-rumah tangga tertinggi di kota Bandung saat ini adalah Rp. 4.000/bulan, atau sekitar Rp.8.000/m3 yaitu biaya untuk mengangkut dan menangani sampah dari TPS ke TPA. Warga juga secara mandiri membiayai pengumpulan sampahnya dari rumah ke TPS terdekat. Belum lagi kita bicara bagaimana efektivitas penarikan retribusi yang ada, apalagi dengan pelayanan pengelolaan sampah yang dinilai tidak memadai, mungkin lebih banyak lagi masyarakat kota Bandung yang enggan untuk membayar retribusi sampah waktu membayar rekening listrik.

Pembangunan sistem persampahan yang lengkap dan dikelola secara terpadu, selain memerlukan modal investasi awal yang cukup besar, juga memerlukan kemampuan manajemen operasional yang baik. Untuk mewujudkan maksud tersebut dapat dijalin hubungan kerjasama antar daerah dan atau bermitra usaha dengan sektor swasta yang potensial dan berpengalaman. Kerjasama kemitraan dapat mempercepat proses penyediaan sarana dan prasarana dengan cakupan pelayanan yang lebih luas dan peningkatan dalam mutu pelayanannya. Sistem pengelolaan yang dikembangkan harus sensistif dan akomodatif terhadap aspek komposisi dan karakteristik sampah dan kecenderungan perubahannya di masa mendatang. Sistern pengelolaan sampah harus disesuaikan dengan pergeseran nilai sampah (waste shifting values) yang selama ini dianggap sebagai bahan buangan yang tidak bermanfaat, bergeser nilainya menjadi bahan-bahan bernilai bila diolah menjadi kompos dan bahan daur ulang dan daur pakai.

Pilihan Teknologi

Pengelolaan sampah di sebuah kota merupakan kegiatan yang bersifat pelayanan masyarakat atau pelayanan umum, dan dapat menimbulkan persoalan kesehatan, kualitas lingkungan serta estetika/keindahan bagi kota itu sendiri, sehingga mempengaruhi penilaian keberhasilan pengelolaan kota secara keseluruhan. Pelayanan dalam pengelolaan sampah kota dapat dikatakan tidak bersifat ekslusif, artinya semua orang dapat menikmatinya tanpa berlangganan, atau tanpa mengurangi nilai pelayanan itu sendiri. Orang yang tidak membayar jasa pelayanan sulit dicegah untuk tidak menikmati jasa yang diberikan. Di sisi lain, sampah mempunyai dimensi ekonomi bila dikelola secara baik, seperti bila didaur-ulang.

Belum terciptanya iklim yang kondusif untuk berkompetisi dalam memberikan pelayanan yang lebih baik dan lemahnya sanksi yang diberikan bagi kegagalan pelayanan, mengakibatkan pelayanan publik ini tetap tidak mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, sehingga pengelola kota dapat dikatakan mengalami kegagalan dalam mengelola kebersihannya. Disamping sebagai barang publik, penanganan sampah belum memanfaatkan nilai ekonomi yang dikandungnya secara optimal. Kegagalan tersebut terlihat secara nyata dan jelas, bila melihat jumlah sampah yang tidak terangkut. Disisi lain, pengelola sampah selalu berada pada lingkaran permasalahan yang rutin, yaitu minimnya anggaran untuk biaya operasi yang tersedia, terbatasnya kemampuan serta menurunnya kinerja peralatan yang ada, yang membutuhkan investasi baru untuk pengadaannya, serta sumber daya manusia yang diposisikan sebagai tenaga kurang terampil yang ditempatkan pada sektor ini.

Dalam hierarhi penanganan limbah, TPA sebetulnya berada pada posisi terakhir. Konsep utama dalam pengelolaan sampah adalah minimasi sampah itu sendiri, khususnya melalui upaya-upaya daur-ulang. Lebih lanjut TPA yang ada hendaknya disiapkan dan dioperasikan secara baik dan profesional, agar permasalahan dampak yang ditimbulkannya ditekan sesedikit mungkin. Beberapa hal umum yang dijumpai adalah:
  • Banyak fihak beranggapan bahwa sanitary landfill adalah sebagai sebuah teknologi yang belum waktunya diterapkan di Indonesia. Sanitary landfill adalah proses engineering yang sederhana. Aplikasi pengurugan sampah yang saat ini banyak diterapkan dimana-mana di Indonesia, yaitu open-dumping, sebetulnya tidak layak disebut sebagai suatu teknologi.
  • Institusi penanggung jawab teknis aplikasi TPA di Indonesia juga cenderung berfikiran bahwa TPA hanya sekedar tempat pembuangan sampah. Kontrol kualitas desain, pembangunan, pengoperasian dan monitoring masih sangat lemah. Belum disadari bahwa TPA adalah sarana yang sensitif, yang dapat menimbulkan dampak lingkungan, yang membutuhkan pendekatan engineering yang profesional. Diperkenalkannya konsep controlled landfill sekitar tahun 1990-an sebagai cara transisi menuju sanitary landfill, ternyata seolah-olah melegalkan operasi open dumping. Setelah sekitar 15 tahun, belum satupun TPA di Indonesia yang dioperasikan sebagai sanitary landfill . Banyak dijumpai TPA yang dioperasikan sebetulnya hanya sekedar open dumping, tetapi diklaim sebagai controlled landfill.
  • Masyarakat sekitar TPA semakin berpengalaman bahwa TPA yang ada selalu mengganggu lingkungannya, karena memang TPA selama ini belum diurus dengan baik. Mereka akhirnya berpendapat, bahwa penanganan sampah oleh Pemerintah, apapun teknologinya akan selalu bermasalah.
Sejak kegagalan fungsi beberapa TPA di Indonesia, maka konsep reduksi dan daur-ulang (Reduce, reuse dan recycling atau 3R) makin disepakati sebagai kunci jawaban atas pemecahan masalah sampah perkotaan. Bukan berarti konsep 3R ini akan serta menggantikan teknologi yang ada, seperti landfilling atau waste-to-energy dsb. Konsep ini hendaknya berjalan bersamaan dan saling mendukung. Teknologi landfilling yang baik sebenarnya sudah menawarkan operasi pengurangan pencemaran dan pengendalian masalah lingkungan lainnya. Bila kita konsisten dan mau, maka dengan teknologi yang sederhanapun akan banyak perubahan yang terjadi. Secara berangsur-angsur kemudian meningkat dengan inovasi yang lain, sejalan dengan pengalaman yang diperoleh.

Permasalahan global saat ini ternyata menuntut lebih jauh. Belum selesai kita menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan dasar dalam pengelolaan sampah,sudah datang lagi kebutuhan global, yang terkait dengan kecemasan akan perubahan temperatur secara global. Kontribusi penanganan limbah ternyata cukup signifikan dalam emisi gas rumah kaca, seperti data yang dikeluarkan oleh negara Uni Eropa di bawah ini.


Tabel 2. Emisi antropogenik CO2, CH4 dan N2O di EU 1994
Keterangan :
GHG = Greenhouse gas

GWP = Global warming potential
Sumber: A. Smith; K.Brown; S.Ogilvie; K.Rusthon; J.Bates: EU Commission: Waste management options and climate change, 2001


Belum lagi kita menerapkan landfilling yang lebih baik dalam bentuk sanitary landfill, atau bentuk waste-to-energy (WTE) dengan recovery panas, negara maju sudah berfikir bahwa teknologi tersebut sudah kurang cocok dalam mengantisipasi pemanasan global, misalnya:
  • Sampah kota yang boleh di-urug di sistem sanitary landfill hanyalah yang mempunyai kadar organik kurang dari 10% (Uni-Eropa), sedang sampah kota kita mengandung organik lebih dari 60%. Alternatifnya adalah melalui mechanical­biological-treatment (MBT) sebelum produk tersebut diurug di landfill . Di Indonesia MBT sebetulnya tidak lain adalah pengomposan sampah tanpa pemilahan terlebih dahulu. Alternatif lain adalah sanitary landfill mereka hanya boleh menerima abu dari sistem WTE. Reduksi gas metan dalam sanitary landfill tradisional diantisipasi dengan konsep sanitary landfill yang aerobik. Lebih lanjut penutup (cover) sanitary landfill yang dianggap lebih baik adalah bahan yang mampu mereduksi emisi gas metan menjadi CO2, melalui proses bio-aerobik.
  • WTE saat ini bukan lagi sekedar membakar mix-waste tanpa pemilahan, tetapi sistem WTE melalui refused -derived -fuel (FDR), dimana sampah dipilah, dirajang, dan dibuat pelet bahan bakar. Di Jepang misalnya, mereka melarang sampah berbahan PVC, atau bahan plastik mengandung chloride lainnya masuk ke sistem pembakaran. Sistem WTE yang sekarang banyak digunakan dianggap perlu ditingkatkan, misalnya dengan sistem pelelehan (melting) pada temperatur yang lebih tinggi yang memungkinkan abu direduksi menjadi elemen-elemen pembentuknya, yang selanjutnya dapat direcovery. Reduksi panas yang akan diemisikan ke luar cerobong juga dirancang berlangsung secara sangat cepat, karena dianggap penurunan panas yang biasa akan berpotensi kembali terbentuknya dioxin.
Penutup
Pengelolaan sampah dari sebuah kota adalah sebuah sistem yang kompleks, dan tidak dapat disejajarkan atau disimplifikasikan begitu saja misalnya dengan penanganan sampah daerah pedesaan. Keberhasilan upaya-upaya sektor informal saat in i tidak dapat begitu saja diaplikasikan dalam menggantikan sistem formal yang selama ini ada. Tetapi perannya patut diperhitungkan oleh pengelola sampah kota. Dibutuhkan waktu yang lama karena menyangkut juga perubahan perilaku masyarakat serta kemauan semua fihak untuk menerapkannya. Sedangkan sampah akan terus muncul dalam skala yang besar sesuai besaran kota tersebut yang perlu setiap hari ditangani. Keduanya diharapkan berjalan bersama, tetapi dalam sebuah kerjasama dan koordinasi yang ketat agar sasaran penanganan sampah dapat berjalan sesuai rencana. Peran dan kemauan politis pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif, mulai dari kebijakan yang terarah, adanya rencana strategis yang tepat, kesungguhan dalam mengaplikasikan peraturan- pe ratu ra n yang relevan, sampai kepada kemauan untuk menyediakan anggaran dsb dalam pengelolaan sampah di daerahnya akan sangat menentukan keberhasilan sistem itu sendiri. (sumber : jujubandung).
___________________
Dipresentasikan pada :
Makalah seminar pada Symposium Pengembangan Surabaya Metropolitan Area di Masa Depan – Sub Topik Manajemen Sampah Kota, 50 tahun Jurusan Teknik Sipil ITS, Surabaya, 23-11-2007.
repost by rulianto sjahputra