PENGELOLAAN
SAMPAH BERBASIS MANDIRI. Tidak
bisa dipungkiri jika saat ini masih banyak masyarakat yang berperilaku buruk
tentang sampah. Mereka membuang sampah sembarangan. Perilaku ini Tidak mengenal
tingkat pendidikan maupun status sosial. Di lingkungan kantor
pemerintahan,bank, sekolah atau kampus, masih banyak dijumpai orang-orang berpendidikan
tinggi membuang sampah sembarang. Kerap pula dijumpai pengendara mobil mewah membuang
tissue, puntung rokok, atau bungkus makanan dari jendela mobilnya ke jalan
raya.
Akibatnya,
sampah berserakan dimana-mana. Di selokan, di sungai, di pasar, di dalam bus,
di terminal atau dimana saja. Padahal sudah disediakan tempat sampah, namun
tetap saja masih sembarangan membuang sampah. Pemandangan ini banyak dijumpai
di daerah perkotaan. Data di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2010 menyebutkan,
volume rata-rata sampah di Indonesia mencapai 200 ribu ton per hari. Daerah
perkotaan menyumbang sampah paling banyak. Hal ini disebabkan banyak faktor,
diantaranya pertambahan penduduk dan arus urbanisasi. Jika persoalan sampah
tidak segera ditangani maka pada tahun 2020 volume sampah di Indonesia meningkat
lima kali lipat. Berarti, 1 juta ton tumpukan sampah dalam sehari.
Sungguh fantastik. Peningkatan
sampah dipicu oleh pertumbuhan jumlah penduduk. Hampir semua Negara mengalami
problema sampah. Tapi di negara-negara maju yang masyarakatnya telah sadar
lingkungan serta didukung teknologi modern, telah berhasil mengatasi sampah.
Termasuk pula ekspor limbah ke negara lain sebagai salah satu langkah mengatasi
sampah.
Pengelolaan sampah sebenarnya
telah diatur pemerintah melalui UU Nomor 18/2008. Di dalamnya termaktub bahwa pengelolaan
sampah tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah saja. Masyarakat dan pelaku
usaha sebagai penghasil sampah juga bertanggung jawab menciptakan lingkungan
yang bersih dan sehat. Pemerintah melalui UU tersebut memberi ruang yang cukup
banyak bagi pemerintah provinsi, kotamadya/kabupaten untuk merencanakan dan mengelola
sampah dalam kawasannya.
Kendati kewenangan itu telah
terdistribusikan, namun tidak serta merta penanganan sampah menjadi simpel.
Kondisi pengelolaan sampah di Indonesia masih tampak semrawut. Adanya kendala
seperti kesulitan lahan TPA, terbatasnya armada pengangkut, kurangnya kesadaran
masyarakat untuk mengelola sampah sejak dari sumbernya, teknologi pengolahan
sampah yang masih tradisional (membakar dan open dumping), hingga kendala
minimnya pengetahuan Sumber Daya Manusia (SDM) soal penanganan sampah.
Di samping itu, anggaran biaya
tidak ketinggalan jadi kendala karena membangun sarana dan fasilitas pengelolaan
sampah membutuhkan biaya tidak sedikit. Seperti dialami Pemda Kota Padang,
Tangerang, Solo dan Bandung yang kesulitan membangun fasilitas TPA karena
terbentur masalah anggaran, sementara Pemkot Batam kesulitan masalah lahan.
Asisten Deputi Pengelolaan Sampah
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Sudirman menegaskan, selama ini program
pengelolaan sampah hanya terfokus di bagian hilir, yakni bagaimana cara
mengolah sampah. Sedangkan bagian hulu yang merupakan aspek paling penting,
yakni manusia atau pihak yang menghasilkan sampah seolah-olah dibiarkan oleh
pemerintah tanpa law enforcement dan sanksi tegas. “Kepedulian masyarakat kita untuk menjaga kebersihan masih
sangat rendah. Kondisi ini yang mestinya dibenahi lebih dulu agar timbul
kepedulian masyarakat terhadap lingkungan,” jelasnya. Menurutnya, penanganan
sampah itu harus dimulai dari manusianya. Sampah timbul karena manusia. Kalau
manusianya bisa dibenahi, maka persoalan sampah tidak sampai krusial. “Oleh sebab
itu, pemerintah harus tegas memberi sanksi terhadap masyarakat yang melanggar
Perda Kebersihan dalam rangka pembelajaran,” ujar Sudirman.
BERBASIS MANDIRI
Partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sampah merupakan aspek terpenting dalam manajemen pengelolaan
sampah terpadu. Mengatasi masalah sampah harus dimulai dari rumah tangga di lingkup
RT/RW, Kelurahan dan Kecamatan kemudian dilanjutkan pada skala yang lebih luas.
Ini dikenal dengan program pengelolaan sampah mandiri berbasis masyarakat.
Esensi dari program tersebut
adalah peran aktif dari warga masyarakat untuk melakukan pemilahan dan
pengelolaan sampah. Seperti diketahui, jenis sampah ada yang organik dan non
organik. Masyarakat harus memilah terlebih dulu sebelum membuang sampah ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pemilahan bertujuan untuk memudahkan jika akan
diterapkan teknologi lanjutan di TPA.
Sampah organik sebaiknya diolah
sendiri oleh masyarakat menjadi pupuk kompos. Jika hal itu memberatkan, maka
sebaiknya ada suatu unit pengelolaan khusus yang menampung sampah organic untuk
diubah menjadi kompos atau bahkan menjadi energi listrik. Sementara sampah
non-organik, seperti sampah plastik, kertas, bungkus kemasan atau logam
disalurkan ke tempat penampungan khusus untuk di daur ulang.
“Volume sampah ke TPA akan sangat
berkurang bila rumahtangga memanfaatkan sampah organik untuk dibuat pupuk
karena 70% sampah dari rumahtangga adalah organik dan 30% non organik,” ujar
Syukrul Amien, Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan dan Permukiman,
Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum.
Manajemen pengelolaan mandiri ini
sudah diterapkan pada berbagai wilayah di Indonesia seperti di Malang, Depok,
Bogor atau Pasuruan. Sejumlah wilayah lain akan siap menerapkan program
tersebut. Meski sudah tersedia TPA, namun lokasinya sangat jauh sehingga untuk
mengambil sampah dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS) butuh biaya
transportasi yang mahal. Belum lagi kendala di perjalanan seperti sampah
berterbangan ke jalan atau terjebak macet.
Untuk mengatasinya, pada umumnya
dibangun tempat penampungan perantara atau Intermediate
Treatment Facility (ITF) yang lokasinya tentu tidak jauh dari sumber
produksi sampah. Dengan begitu, kendala jarak dan waktu dapat diatasi. “Pemda
Kotamadya/Kabupaten bisa saja membangun ITF supaya pengelolaan sampah lebih
efektif. Biaya pembangunannya dari APBD,” tuturnya.
Dengan adanya ITF, volume sampah
yang akan diangkut ke TPA akan menjadi berkurang karena proses pengelolaan dari
TPS bisa dilakukan di ITF. Sampah yang dibuang ke TPA adalah sampah yang
benar-benar tidak bisa diolah di ITF.
BANK SAMPAH
Langkah penanganan yang lain
adalah pendirian bank sampah yang sekarang marak bermunculan di sejumlah
tempat. Di wilayah Kota Bogor misalnya, berdiri bank sampah dan menjadi proyek
percontohan dari KLH. Bank sampah merupakan sistem pengolahan sampah berbasis
rumah tangga dengan memberikan ganjaran berupa uang kepada mereka yang berhasil
memilah dan menyetor sampah. Besarnya uang tergantung dari jenis sampah. Di masyarakat, bank sampah dikenal
dengan sebutan lapak pemulung.
Dengan adanya bank sampah, maka
alur kebiasaan masyarakat membuang sampah menjadi lebih baik. Proses
pengumpulan sampah dimulai dari sumber rumah tangga sampai masyarakat luas.
Setelah dipilah, sampah tersebut disetor ke bank sampah untuk diolah sesuai
jenis sampah. Hasil olahan (daur ulang) dijual kembali ke masyarakat.
“Kami akan terus
mensosialisasikannya agar masyarakat dapat memahami fungsi bank sampah. Kalau
ini sudah jalan, volume sampah di Bogor bisa berkurang,” jelas Kepala Bidang
Tata Lingkungan dan Dampak Lingkungan pada Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(BPLH) Kota Bogor, Shahlan Rasyidi.
Terkait dengan pengelolaan sampah
adalah aspek teknologi. Kebiasaan masyarakat membakar sampah akan berdampak
pada pencemaran lingkungan dan membahayakan kesehatan, sementara dengan sistem open
dumping (menumpuk sampah) tentu membutuhkan lahan luas. Karena itu, perlu
perencanaan matang dalam menerapkan teknologi pengolahan sampah yang ramah
lingkungan.
KONSEP 3R ++
Selain itu, konsep 3R (reduce,
reuse, recycle) harus benar-benar diterapkan dalam manajemen pengelolaan
sampah. Pengertian 3R adalah mengurangi segala sesuatu yang dapat menimbulkan sampah
(reduce), menggunakan kembali sampah yang masih dapat dipakai untuk fungsi yang
sama atau fungsi yang lain (reuse) dan mengolah kembali (daur ulang) sampah
menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat (recycle). Konsep 3R bertujuan untuk
menekan volume sampah.
Menurut Syukrul, masyarakat sudah
sejak lama menerapkan konsep 3R. Konsep ini kemudian berkembang dan sekarang muncul
inovasi baru yang disebut 3R++, yakni pengelolaan sampah yang bisa memberikan
nilai tambah (benefit) baru bagi masyarakat. Selain manfaat kompos dan produk
daur ulang, masyarakat bisa menikmati keuntungan lebih berupa energi listrik
dari sampah yang bisa mengger akkan mesin pengolah. Bahkan, bisa dikembangkan
untuk penerangan jalan atau rumah-rumah warga.
“Ini yang akan dikembangkan dalam
manajemen pengelolaan sampah ke depan. Masyarakat bisa menikmati banyak manfaat
dari sampah. Sistem ini sudah banyak dipakai di negara maju,” jelasnya. Pada
sampah jenis limbah berbahaya yang dihasilkan dari industri dan rumah sakit,
maka pengelolaannya menjadi tanggungjawab sepenuhnya dari perusahaan
bersangkutan.
Dalam kondisi keterbatasan
kapasitas pelayanan pemerintah, maka dunia usaha dan swasta juga dapat
dijadikan sebagai mitra untuk mewujudkan pelayanan pengelolaan sampah yang baik
melalui program Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Pemerintah membuka peluang
pada swasta untuk turut serta dalam pengelolaan sampah.
Menurut data KLH, cakupan pelayanan
sampah saat ini tidak lebih 20%. Mengacu pada Millennium Development Goals
(MDGs) tahun 2015 yang menargetkan akses layanan persampahan kepada masyarakat
kota sebesar 80% atau 104,6 juta, dan 50% atau 57,5 juta jiwa di pedesaan
dengan total seluruh Indonesia mencapai 66% atau 162,1 juta jiwa, maka sudah
waktunya Pemda Kotamadya/Kabupaten berupaya keras untuk mewujudkan target tersebut.
Terlebih lagi tahun 2015 tidak lama lagi.
Alhasil, penanganan dan
pengelolaan sampah butuh komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan (stake
holder) mulai dari hulu sampai hilir. Tanpa adanya komitmen yang kuat, mustahil
masalah sampah dapat diatasi. “Sampah ibarat bola salju yang kalau tidak segera
ditangani secara baik, maka bola salju itu akan membesar dan siap menimbun
kita,” tandas Syukrul Amien. Tentunya tidak ingin itu menimpa kita.(*)
----------------------------------------
Pengelolaan Sampah Berbasis Mandiri
Sumber : Suistaining Partnership (Media Informasi Kerjasama
Pemerintah Dan Swasta), Bappenas
Repost by Rulianto Sjahputra