Post by Rulianto Sjahputra
Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi
Peta Tangerang (source : google map) |
Sejarah Dan Budaya
Tangerang” Tempo Doeloe” Tangerang merupakan kota yang sangat strategis yang
dekat dengan Jakarta, sejarah Tangerang, yang tidak bisa dilepaskan dari empat
hal utama yang saling terkait. Keempat hal itu adalah peranan Sungai Cisadane;
lokasi Tangerang di tapal batas antara Banten dan Jakarta; status bagian
terbesar daerah Tangerang sebagai tanah partikelir dalam jangka waktu lama dan
bertemunya beberapa etnis dan budaya dalam masyarakat Tangerang. Sungai
Cisadane membujur dari selatan didaerah pegunungan ke utara di daerah pesisir.
Sungai ini amat berperan penting dalam kehidupan masyarakat di sepanjang daerah
aliran sungai (DAS) hingga dewasa ini. Yang berubah hanyalah jenis peranannya.
Sejak zaman kerajaan Tarumanegara (abad ke-15) hinggga awal zaman Hindia
Belanda (awal abad ke-19), sungai ini berperan sebagai sarana lalu lintas air
yang menghubungkan daerah pedalaman dengan daerah pesisir. Disamping itu,
sungai Cisadane juga menjadi sumber penghidupan manusia yang bermukim di
sepanjang DAS ini. Antara lain untuk mengairi areal persawahan dan perikanan di
daerah dataran rendah bagian utara Tangerang. Sejarah Tempo Dulu.
PDAM Tangerang 1925 |
Dulu bernama Tanggeran
Menurut tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang, nama
daerah Tengerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran yang
berasal dari bahasa Sunda yaitu tengger danperang. Kata
“tengger” dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda” yaitu berupa tugu yang
didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, sekitar
pertengahan abad 17. Oleh sebab itu, ada pula yang menyebut Tangerang berasal
dari kata Tanggeran (dengan satu g maupun dobel g). Daerah
yang dimaksud berada di bagian sebelah barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng
atau tepatnya di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu dibangun oleh
Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa. Pada tugu tersebut
tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya
sebagai berikut:
Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang
Sedangkan istilah “perang” menunjuk pengertian bahwa daerah
tersebut dalam perjalanan sejarah menjadi medan perang antara Kasultanan Banten
dengan tentara VOC. Hal ini makin dibuktikan dengan adanya keberadaan benteng
pertahanan kasultanan Banten di sebelah barat Cisadane dan benteng pertahanan
VOC di sebelah Timur Cisadane. Keberadaan benteng tersebut juga menjadi dasar
bagi sebutan daerah sekitarnya (Tangerang) sebagai daerah Beteng. Hingga masa
pemerintahan kolonial, Tangerang lebih lazim disebut dengan istilah “Beteng”.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sekitar tahun 1652,
benteng pertahanan kasultanan Banten didirikan oleh tiga maulana (Yudhanegara,
Wangsakara dan Santika) yang diangkat oleh penguasa Banten. Mereka mendirikan
pusat pemerintahan kemaulanaan sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap VOC
di daerah Tigaraksa. Sebutan Tigaraksa, diambil dari sebutan kehormatan kepada
tiga maulana sebagai tiga pimpinan (tiga tiang/pemimpin). Mereka mendapat
mandat dari Sultan Agung Tirtoyoso (1651-1680) melawan
VOC yang mencoba menerapkan monopoli dagang yang merugikan Kesultanan Banten.
Namun, dalam pertempuran melawan VOC, ketiga maulana tersebut berturut-turut
gugur satu persatu.
Perubahan sebutan Tangeran menjadi Tangerang terjadi
pada masa daerah Tangeran mulai dikuasai oleh VOC yaitu sejak
ditandatangani perjanjian antara Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17 April
1684. Daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara
Belanda tidak hanya terdiri dari bangsa asli Belanda (bule) tetapi juga
merekrut warga pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di antaranya
ditempatkan di sekitar beteng. Tentara kompeni yang berasal dari Makasar tidak
mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut “Tangeran” dengan “Tangerang”.
Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan hingga kini.
Sebutan “Tangerang” menjadi resmi pada masa pendudukan Jepang
tahun 1942-1945. Pemerintah Jepang melakukan pemindahan pusat pemerintahan
Jakarta (Jakarta Ken) ke Tangerang yang dipimpin oleh Kentyo M Atik Soeardi
dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosiekenseperti termuat dalam Po No.
34/2604. Terkait pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang
tersebut, Panitia Hari Jadi Kabupaten Tangerang kemudian menetapkan tanggal
tersebut sebagai hari lahir pemerintahan Tangerang yaitu pada tanggal 27
Desember 1943. Selanjutnya penetapan ini dikukuhkan dengan Peraturan Daerah
Tingkat II Kabupaten Tangerang Nomor 18 Tahun 1984 tertanggal 25 Oktober 1984.
Asal Mula Penduduk Tangerang
Latar belakang penduduk yang mendiami Tangerang dalam sejarahnya
dapat diketahui dari berbagai sumber antara lain sejumlah prasasti,
berita-berita Cina, maupun laporan perjalanan bangsa kulit putih di Nusantara.
“Pada mulanya, penduduk Tangeran boleh dibilang
hanya beretnis dan berbudaya Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat,
serta pendatang dari Banten, Bogor, dan Priangan. Kemudian sejak 1526, datang
penduduk baru dari wilayah pesisir Kesultanan Demak dan Cirebon yang beretnis
dan berbudaya Jawa, seiring dengan proses Islamisasi dan perluasan wilayah
kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati daerah pesisir Tangeran sebelah
barat”.[1]
Orang Banten yang menetap di daerah Tangerang diduga merupakan
warga campuran etnis Sunda, Jawa, Cina, yang merupakan pengikut Fatahillah dari
Demak yang menguasai Banten dan kemudian ke wilayah Sunda Calapa. Etnis Jawa
juga makin bertambah sekitar tahun 1526 tatkala pasukan Mataram menyerbu VOC.
Tatkala pasukan Mataram gagal menghancurkan VOC di Batavia, sebagian dari
mereka menetap di wilayah Tangeran.
Orang Tionghoa yang bermigrasi ke Asia Tenggara sejak sekitar abad
7 M, diduga juga banyak yang kemudian menetap di Tangeran seiring
berkembangnya Tionghoa-muslim dari Demak. Di antara mereka kemudian banyak yang
beranak-pinak dan melahirkan warga keturunan. Jumlah mereka juga kian bertambah
sekitar tahun 1740. Orang Tionghoa kala itu diisukan akan melakukan
pemberontakan terhadap VOC. Konon sekitar 10.000 orang Tionghoa kemudian
ditumpas dan ribuan lainnya direlokasi oleh VOC ke daerah sekitar Pandok
Jagung, Pondok Kacang, dan sejumlah daerah lain di Tangeran.. Di
kemudian hari, di antara mereka banyak yang menjadi tuan-tuan tanah yang
menguasai tanah-tanah partikelir.
Penduduk berikutnya adalah orang-orang Betawi yang kini banyak
tinggal di perbatasan Tangerang-Jakarta. Mereka adalah orang-orang yang di masa
kolonial tinggal di Batavia dan mulai berdatangan sekitar tahun 1680. Diduga
mereka pindah ke Tangeran karena bencana banjir yang selalu
melanda Batavia.
Menurut sebuah sumber, pada tahun 1846, daerah Tangeran juga
didatangi oleh orang-orang dari Lampung. Mereka menempati daerah Tangeran Utara
dan membentuk pemukiman yang kini disebut daerah Kampung Melayu (Thahiruddin,
1971)[2].
Di jaman kemerdekaan dan Orde Baru, penduduk Tangerang makin
beragam etnis. Berkembangnya industri di sana, mengakibatkan banyak pendatang
baik dari Jawa maupun luar Jawa yang akhirnya menjadi warga baru. Menurut sensus
penduduk tahun 1971, penduduk Tangerang berjumlah 1.066.695, kemudian di tahun
1980 meningkat menjadi 1.815.229 dan hingga tahun 1996 tercatat mencapai
2.548.200 jiwa. Rata-rata pertumbuhan per-tahunnya mencapai 5,23% per tahun.
Untuk sekedar memetakan persebaran etnis-etnis di Tangerang, dapat
disebutkan di sini bahwa daerah Tangerang Utara bagian timur berpenduduk etnis
Betawi dan Cina serta berbudaya Melayu Betawi. Daerah Tangerang Timur bagian
selatan berpenduduk dan berbudaya Betawi. Daerah Tangeran Selatan berpenduduk
dan berbudaya Sunda. Sedang daerah Tangeran Utara sebelah barat berpenduduk dan
berbudaya Jawa[3]. Persebaran penduduk tersebut di masa kini tidak lagi bisa
mudah dibaca mengingat banyaknya pendatang baru dari berbagai daerah. Maka, apabila
ingin mengetahui persebaran etnis di Tangerang, tentunya dibutuhkan studi yang
lebih mendalam.
[1] Halim, Wahidin. Ziarah Budaya Kota Tangeran
Menuju Masyarakat Berperadaban Akhlakul Karimah, Tangerang, 2005
[2] Migrasi orang Lampung ke Tangerang, diduga terkait
perlawanan penguasa Lampung terhadap pemerintahan kolonial pada tahun 1826.
Perlawanan ini di pimpin Raden Imba dari Keratuan Darah Putih. Tahun 1826
sampai dengan 1856 merupakan masa perang Lampung (Perang Raden Intan). Namun
sayang, pada tanggal 5 Oktober 1856 Raden Intan II gugur dalam peperangan
menghadapi tentara jajahan dibawah pimpinan Kolonel Waleson. Perang Lampung pun
akhirnya berakhir. (Bandingkan Ekadjati, Edi S. Sejarah Kabupaten
Tangerang, Pemda Tangerang: 2004, halaman 110)
[3] Ibid
Daftar Bacaan :
Source
: http://www.wikimu.com
Source : http://kmk312meettaa.wordpress.com
Artikel Terkait :
Artikel Terkait :