Krisis air bersih membuat sebagian besar penduduk Indonesia mengonsumsi air yang tidak layak minum
SEBAGAI negara yang memiliki 6% persediaan air
sedunia dan 21% persediaan air di Asia Pasifik, Indonesia digolongkan sebagai
negara yang kaya akan sumber daya air. Namun, kenyataan sungguh ironis.
Krisis air bersih kini kerap melanda negara kita. Potensi ketersediaan air
bersih dari tahun ke tahun cenderung merosot. Hal itu akibat rusaknya daerah
tangkapan air dan pencemaran lingkungan yang diperkirakan sebesar 15%35% per
kapita per tahun.
Krisis air bersih pun sudah menyasar Pulau Jawa
yang memiliki densitas penduduk yang paling padat di Indonesia. Menteri
Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto, beberapa waktu lalu, bahkan mengatakan
Pulau Jawa sudah mengalami krisis air bersih sehingga perlu upaya pengelolaan
dan penghematan sumber daya air. “Masyarakat harus sudah mulai berhemat dalam
menggu nakan air bersih,“ serunya.
Krisis air bersih membuat sebagian besar penduduk
Indonesia mengonsumsi air yang seharusnya tidak layak minum. United States
Agency for International Development (USAID) dalam laporannya pada 2007
menyebutkan di berbagai kota di Indonesia hampir 100% sumber air minum kita
tercemar oleh bakteri Escherichia coli (E coli) dan coliform.
Kesimpulan relatif serupa juga dikeluarkan studi
Basic Human Services 2007 yang menyatakan hampir semua rumah tangga di
Indonesia (99,20%) telah memasak air untuk mendapatkan air minum. Namun,
sayangnya akibat tidak dikelola dengan baik, sekitar 47,5% air rebusan tetap
mengalami kontaminasi bakteri E coli, bakteri penyebab diare.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Tjandra Yoga Aditama
mengatakan diare, penyakit kulit, dan kolera adalah penyakit yang muncul
lantaran imbas keterbatasan air bersih. Parahnya, sulitnya akses air bersih
ditambah perilaku warga yang jauh dari gaya hidup yang bersih membuat
prevalensi kejadian diare di Tanah Air kian parah. “Gaya hidup orang Indonesia
umumnya masih jorok. Misalnya hanya sedikit orang yang biasa mencuci tangan
sebelum makan,“ sesalnya. Seharusnya,
lanjut Tjandra, kejadian diare dapat diturunkan melalui beragam cara. Antara
lain melalui peningkatan akses masyarakat terhadap sanitasi dasar, prevalensi
diare diprediksi dapat dipangkas menjadi 32%.
Melalui perilaku mencuci tangan pakai sabun,
risiko terkena diare dapat turun jadi 45%. Lewat perilaku pengelolaan air minum
yang aman di rumah tangga, risiko diare bisa ditekan jadi 39%.
Capaian MDGs Penyediaan akses air bersih bagi warga Indonesia masih merupakan tantangan yang berat untuk mencapai tujuan pembangunan milenium atau millennium development goals (MDGs). Sesuai dengan tujuan MDGs pada 2015, pemerintah menargetkan jumlah penduduk yang mengonsumsi air bersih harus mencapai 68%.
Capaian MDGs Penyediaan akses air bersih bagi warga Indonesia masih merupakan tantangan yang berat untuk mencapai tujuan pembangunan milenium atau millennium development goals (MDGs). Sesuai dengan tujuan MDGs pada 2015, pemerintah menargetkan jumlah penduduk yang mengonsumsi air bersih harus mencapai 68%.
Secara umum, cakupan air bersih yang bisa diakses
masyarakat masih jauh dari target MDGs, yaitu akses aman air bersih minimal
sebesar 68,9% pada 2015. Adapun akses aman pelayanan air minum sebesar 68,9% melalui
jaringan perpipaan sebesar 41,03% (perkotaan 68% dan pedesaan 19,8%).
Namun, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)
pada 2009, akses aman untuk pelayanan air minum tercatat baru mencapai sebesar
47,7% dan cakupan air minum nasional melalui jaringan perpipaan baru mencapai
25,6% dengan rincian perkotaan 43,96% dan perdesaan 11,5%.
Penyelesaian atas gap yang cukup besar itu,
menurut Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak, di Jakarta, beberapa
waktu lalu, harus bisa dikebut pada rentang waktu 2011-2014. “Upaya pencapaian
akses air dalam target MDGs semakin lama semakin berat,“ sebutnya.
Hal itu seiring dengan laju percepatan
pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan laju perluasan cakupan layanan
perluasan akses. Di sisi lain, kesadaran masyarakat untuk menghemat air
dinilainya juga masih rendah. Pasalnya, mereka masih beranggapan air sebagai barang
sosial yang mudah didapat. Kendala lain, menurut dirinya, ialah masih lemahnya
sisi pendanaan alternatif yang belum digarap secara optimal.
Saat ini pengembangan air minum masih
mengandalkan dana pemerintah dan bantuan luar negeri. Kementerian PU
memperkirakan, untuk mewujudkan target MDGs, dibutuhkan dana sekitar Rp11,8
triliun. Untuk itu, kesenjangan pembiayaan sebesar Rp34,8 triliun harus dipenuhi
dari luar APBN, misalnya perbankan dan kerja sama pemerintah dan swasta (KPS). Terkait
dengan hal itu, Menteri Lingkungan Hidup (KLH) Balthasar Kambuaya mengatakan
air memang masih menyisakan berbagai masalah yang pelik di Indonesia.
Dengan berkaca pada masalah itu, pada 2012 KLH
telah mengalokasikan dana dekonsentrasi sebesar Rp200 miliar untuk sejumlah
pemerintah daerah. Alokasi dana itu diharapkan dapat memenuhi target indikator
kinerja utama di bidang pengelolaan lingkungan. Seperti tercapainya upaya
penurunan beban pencemaran, meningkatnya ketaatan pengendalian pencemaran air,
udara, sampah, dan limbah B3, serta penghentian kerusakan lingkungan. Nah,
dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia yang jatuh pada hari ini, sudah
selayaknya masyarakat mulai menyadari pentingnya air bersih. Caranya dengan
melakukan gerakan menghemat air dan upaya pelestarian sumber-sumber air agar
air bersih tetap tersedia untuk generasi mendatang.
“Pemerintah perlu menerapkan penegakan hukum yang
lebih ketat untuk memastikan agar sumber-sumber air tidak semakin mengalami
degradasi akibat pemanfaatan lahan yang kurang tepat maupun perusakan hutan
lindung,“ kata Direktur Nasional World Vision Indonesia Tjahjono Soerjodibroto
di Jakarta, kemarin. Pelestarian sumber-sumber air perlu semakin digalakkan
demi peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat. ( Sumber : People's News Blog).
Repost by rulianto s.